Macam-macam
Cerpen:
- Cerpen Realistik, Cerpen yang mencerminkan kehidupan nyata dan menggambarkan karakter, suasana, dan peristiwa yang mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
- Cerpen Fantasi, Cerpen yang mengeksplorasi dunia imaginasi dan keajaiban, dengan menampilkan elemen-elemen fantasi seperti makhluk mitos, sihir, atau petualangan di dunia yang tidak nyata.
- Cerpen Misteri, Cerpen yang membangun suasana misterius dan menampilkan plot yang penuh teka-teki atau kejutan. Biasanya, cerpen ini fokus pada pemecahan suatu misteri atau rahasia.
- Cerpen Romantis, Cerpen yang mengisahkan kisah cinta antara dua karakter. Cerpen ini mungkin menggambarkan perjuangan, ketegangan, atau kebahagiaan dalam hubungan asmara.
Cerpen memiliki
beberapa elemen penting, antara lain:
- Pengenalan, Bagian awal cerpen yang memperkenalkan latar belakang, karakter utama, dan situasi yang akan dikembangkan.
- Konflik, Ketegangan atau masalah yang dihadapi oleh karakter utama. Konflik merupakan inti cerita dan mendorong perkembangan plot.
- Klimaks, Puncak ketegangan atau momen kritis dalam cerita. Klimaks mengarah ke penyelesaian konflik.
- Penyelesaian, bagian akhir cerita yang menyajikan penyelesaian konflik dan menutup cerita dengan cara yang memuaskan.
Ciri-ciri Cerpen
- Ringkas, Cerpen memiliki jumlah kata yang terbatas dan merangkum cerita dalam format yang singkat.
- Fokus pada Inti Cerita, Cerpen berfokus pada konflik dan perkembangan karakter utama, tanpa memperluas plot secara berlebihan.
- Karakter Terbatas. Dalam cerpen, biasanya hanya ada beberapa karakter yang mendapat perhatian utama, sehingga pembaca dapat lebih mengenal karakter-karakter tersebut.
- Penuh dengan Imajinasi, Cerpen membangkitkan imajinasi pembaca melalui penggunaan bahasa yang deskriptif dan detail dalam menggambarkan latar belakang dan karakter.
Nah Commers,
dibawah ini adalah salah satu contoh Cerpen tentang warisan indonesia di era
teknologi. Dimana puisi ini dibuat oleh salah satu Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Bengkulu yang berjudul "Wayang Putih"
Wayang putih
Refina Maharani Salim
“Buang-buang
waktu saja.” Terus saja kalimat itu yang terdengar ditelinga setiap hari, tidak
bisakah mereka menghargai?
Faal
menghela nafasnya cukup panjang, ditemani suara deburan ombak yang
bersaut-sautan. Hamparan pasir putih diiringi dengan hembusan angin yang sejuk,
cukup berisik namun sangat menenangkan pikiran. Faal memikirkan perbuatannya
yang membuat orang-orang mengucilkan Faal, apakah sebesar itu hingga mereka
tega membuat dirinya merasa terpojok dan terkucilkan. Faal berdecak kagum
Ketika ombak-ombak terhempas kelautan lepas, sungguh membuat siapa saja merasa
tenang. Ia beranjak dari sana dan mulai
melangkahkan kaki untuk menyelusuri garis Pantai yang cukup Panjang, suara tawa
riang anak kecil cukup bisa mengingatkan kepada masa kecil. Terlintas sebuah
ide cemerlang di dalam hati setidaknya ini sangat bisa membantu perekonomian
keluarga yang saat ini sangat sulit. Ditambah lagi uang ukt yang cukup tinggi
membuat ayah kesulitan bernafas, Faal mulai melangkahkan kaki untuk pulang
kerumah.
Bangunan
yang menjadi tempat berlindung ini tidak besar, namun sangat cukup untuk
membuat aman dari hal-hal diluar sana. Samar-samar Faal mendengar suara tangis
membuat langkah kaki ini semakin cepat untuk menemukan sumber suara tersebut,
Faal mengintip dari celah pintu ketika
tahu suara tangis itu berasala dari kamar kedua orangtuanya, suara perut
berbunyi disaat yang tidak tepat, Faal memutuskan untuk mengetuk pintu kamar
orangtuanya dengan pelan, dan disambut oleh penghuni di dalam sana. “Masuk
saja, pintunya tidak dikunci.” “Ibu, dimana ayah? Aku sangat lapar bu. Apakah
ibu sudah memasak.” “ah, ibu belum memasak tunggu ya ibu masakan sesuatu dulu.”
Pilu, sudah tidak ada sebutir beras lagi yang
tersisa, untuk membelinya pun uang yang dimiliki sudah tidak cukup jika ingin
membeli secanting beras. Yang tersisa hanyalah sebungkus tepung sagu dan
sebutir telur ayam, hanya itu yang bisa ibu masak, lagi dan lagi ibu memasak
sambil menitikan air mata, merasakan betapa pahitnya hidup yang mereka jalani.
Malam
ini mereka mengisi tenaga hanya ditemani oleh bubur sagu buatan ibu, meski
hanya sepiring bubur, namun mereka sangat bersyukur bisa mengisi tenaga untuk
malam ini, hanya dentingan sendok dan piring saja yang menghiasi makan malam
mereka. Kembali teringat di pikiran Faal sebuah surat yang Faal dapatkan dari
universitas tempat ia menimba ilmu. “Yah, apakah ayah sudah ada uang untuk
membayar uang kuliah Faal.” Ucapan Faal disambut oleh senyuman hangat yang ayah
miliki, “besok ya, besok ayah yang akan membayar uang kuliahmu al.” Setelah
usaha yang ayah miliki bangkrut karena penipuan mereka menjadi lebih tertutup
kepada warga sekitar.
Ayah
termenung diteras rumah, bagaimana mereka bertahan hidup untuk hari
selanjutnya, semuanya sudah habis terjual untuk membayar hutang-hutang yang
mereka miliki. Menjual perhiasan yang ibu miliki pun hanya cukup untuk membayar
uang kuliah Faal dan makan satu hari, mati langkah dan mati kutu, tidak ada
yang bisa diandalkan untuk saat ini,
sudah berbagai perusahaan bahkan toko yang membuka lowongan pekerjaan tetapi
tidak ada satupun dari mereka yang memanggil ayah untuk bekerja. Faal duduk
disamping ayah, atmosfer malam itu sangatlah dingin. Dengan keberanian yang ada
faal mulai berbicara dengan sangat pelan. “ Ayah, kenapa ayah tidak menjual
wayang kulit saja yah? Bukannya ayah pandai membuat wayang kulit. Hitung-hitung
kita juga melestarikan budaya yang kita miliki yah.” “Tidak mudah faal,
ditambah lagi saat ini orang-orang sudah tidak menyukai wayang lagi.” Suasana
yang terbangun menjadi sangat panas, raut muka ayah juga saat ini sudah tidak
bersahabat lagi kala faal terus saja memaksa. “Sudahlah faal, lebih baik kau
masuk kedalam rumah.
Seekor
burung Gagak bertengger dipagar rumah, membuat mata ayah terfokus ke arah
pagar. “Pertanda apa ini ya tuhan, jauhkanlah kelurga ini dari hal-hal yang
tidak baik.” Ucap ayah pelan tetapi masih terdengar di telinga Faal. “Sudahlah
ayah, itu hanya burung gagak biasa dia juga makhluk hidup, buang jauh-jauh
budaya tabu itu ayah.” “Jangan asal bicara Faal.” Ayah masuk kedalam rumah
dengan wajah yang cukup mengkhawatirkan.
Gemercik
air hujan tidak menghentikan semangat Faal untuk tetap menimba ilmu, Faal pergi
ke Universitas tempat ia belajar. Dengan menggunakan sepeda ontel miliknya,
tetapi lagi dan lagi hanya cemoohan dari tetangga nya yang ia dapatkan. “Miskin
saja sok-sok an untuk kuliah, Universitas sana tidak menerima pembayaran
menggunakan daun Faal.” Cukup membuat siapa saja sakit hati tetapi ucapan itu
tidak di idahkan oleh Faal. Detik berganti menit, menit berganti jam, tidak
terasa jam kuliah Faal sudah berakhir. Siang hari dimana orang-orang mengisi
Kembali tenaga mereka yang sudah terkuras tetapi tidak dengan Faal, Faal lebih
memilih untuk Kembali kerumah demi menghemat pengeluaran. Faal menyelusuri
jalan yang sempit demi bisa sampai kerumah, sebuah kantong hitam sangat menarik
perhatian Faal diambilnya kntong tersebut dan dengan cepat Faal membawa kantong
hitam itu pulang kerumah, rasa penasarannya saat ini lebih besar daripada rasa
laparnya. Selembar kulit sapi yang basah membuat faal merasa senang, sepertinya
keberuntungan berada dipihak Faal, dengan telaten faal membersihkan kulit
tersebut dan mengeringkannya. Idenya saat ini hanyalah menjual wayang kulit
untuk menambah penghasilan keluarganya, yang dimana hanya pas-pasan untuk
makan.
Dua
minggu sudah berlalu, kulit yang ditemukan Faal sudah kering, bahkan sudah
beberapa yang menjadi sebuah wayang, lagi dan lagi hanya sebuah remehan yang
diberikan oleh orang-orang disekitarnya “Sudahlah Faal, untuk apa kau membuat
wayang itu.” “Hei, itu sudah kuno sekali. Sudah lebih 100 tahun yang lalu,
lebih baik kau bergabung bersama kami untuk bermain game online.” “Zaman sudah
modern Faal, lebih baik kau menggunakan gadget, daripada memainkan wayang yang
tak ada gunanya itu.” Suara-suara dan kalimat-kalimat yang diberikan oleh
sekumpulan remaja yang melewati rumah
Faal sontak membuat rahang Faal mengeras menandakan bahwa anak muda itu sangat
marah. Tangannya terkepal kuat bahkan nada bicaranya sudah tidak terkontrol
lagi “Lebih baik kalian pergi dari hadapanku, kalian tidak tahu apa-apa. Yang
kalian tahu hanya menghabiskan uang dan waktu.”
Faal
sudah tidak kuat, mendengar hinaan yang terus saja dilontarkan oleh
orang-orang. Tekadnya sudah bulat untuk membalas perbuatan mereka yang sudah
berani mencaci bahkan menghina. Faal duduk di taman tempat orang-orang
melepaskan penat, atau hanya sekedar bersenda gurau saja, sebuah poster mendarat
tepat dibawah kaki faal yang tidak tahu berasal darimana. Disana pemberitahuan
perlombaan pementasan yang hadiahnya cukup besar, bahkan benefit yang
ditawarkan sangat fantastis. Tidak menyia-nyiakan waktu, Faal bergegas untuk
mendaftarkan diri kedalam perlombaan tersebut. Faal tidak memberitahu kepada
orang tuanya dikarenakan takut mendapatkan amarah semata. Dua minggu waktu yang
cukup untuk mempersiapkan semuanya, Faal mulai mempersiapkan semua yang
sekiranya perlu disiapkan. Selama itu ia sangat telaten dan berlatih, Faal
sudah tidak memikirkan hinaan orang, kuliah yang dijalani oleh Faal juga
lancar-lancar saja. Faal juga sudah menjual wayang kulitnya di platform media
sosial, siapa sangka kegiatan yang dicap hanya membuang waktu oleh orang-orang
membawa petuah bagi keluarga faal.
Tiba
hari dimana perlombaan dimulai, hanya Faal seorang diri dengan berbekalkan dua
buah wayang kulit yang ia buat sendiri. Hanya Faal juga yang membawakan
kesenian wayang, cukup minder ketika melihat peseta lain menunjukan penampilan
lain yang menurut Faal lebih baik dari dirinya. Saat Faal memperlihatkan
bakatnya dalam memainkan wayang. Semua penonton bahkan juri dengan bangga dan
meriah memberikan tepuk tangan atas keberhasilannya dalam membawakan kesenian budaya Indonesia.
Tidak semua anak muda pbahkan mahasiswa Indonesia bisa membawakan penampilan
tersebut, tidak semua anak muda menyukai kebudayaan tradisional Indonesia. Anak
muda sekarang lebih memilih memanfaatkan teknologi zaman sekarang yang sudah
merajalela dengan salah, yaitu memainkan gadget tanpa manfaat dan menghabiskan
banyak waktu.
Faal
dengan bangga naik keatas panggung saat namanya disebut sebagai pemenang, ia
juga tidak menyangka bisa membawa pulang uang puluhan juta. Rintihan air mata
keluar dari pelupuk mata Faal, setidaknya saat ini ia bisa membantu ayahnya
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, tidak akan ada lagi kepahitan setelah
ini.
Faal
semakin gencar membuat wayang kulit, ia tetap ingin melestarikan kebudayaan
Nusantara di gejolak marak dan canggihnya teknologi, hampir semua dinding rumah
Faal dihiasi oleh wayang kulit, saat ini kediaman Faal sedang kedatangan
saudara jauhnya, bukan mendapatkan pujian seperti yang orangtua Faal harapkan
yang didapat hayalah remehan semata. Tetap saja pendirian Faal sudah bulat. Ia
yakin dengan apapun keputusannya saat ini. Faal menyelusuri jalanan yang cukup
ramai, ia hanya ingin menemukan ketenangan saat ini. Hanya alam yang bisa
menerima Faal dengan seluruh keadaan sedihnya, hanya semilir angin yang mampu
memberikan ketenangan, sangat pas untuk bersantai sambil menikmati hamparan
pasir putih dan lautan yang berwarna biru. Dihiasi oleh ombak yang
berlomba-lomba sampai ketepian tetapi hancur terhempas oleh ombak yang lain.
Kenapa susah sekali untuk melestarikan peninggalan Sejarah yang berharga,
kenapa susah sekali untuk menerima hasilnya. Faal kira mereka akan senang saat
ini tetapi malah justru semakin menderita. Semua orang datang mengaku saudara
saat mereka sudah berada di atas, kemana mereka dulu disaat faal dan keluarganya
hanya mampu memakan bubur sagu, dimana mereka saat Faal tidak bisa membayar
tunggakan uang kuliahnya dulu.
0 comments:
Post a Comment