Teori
ini pertama kali diperkenalkan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass ( porfesor
jurusan komunikasi Universitas Stanford Amerika )dalam tulisannya The Media Equation : How people treat
computers, television, and new media like Real people and places pada tahun
1996. Teori ini relatif sangat baru dalam dunia komunikasi massa.
Media Equation Theory atau teori
persamaan media ini ingin menjawab persoalan mengapa orang-orang secara tidak
sadar dan bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media
seolah-olah (media itu) manusia? Dengan demikian, menurut asumsi teori ini,
media diibaratkan manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga bisa diajak
berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi
interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face. Dalam
proses interaksi sosial dikatakan bahwa orang-orang cenderung dekat dan
menyukai satu sama lain karena terjadinya kesamaan. Sejalan dengan teori ekuasi
media ini, media bahkan dianggap seperti kehidupan nyata ( media and real life are the same).
Misalnya, kita berbicara (meminta pengolahan data) dengan komputer kita seolah komputer itu manusia. Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi. Bahkan kita berperilaku secara tidak sadar seolah-olah media itu manusia. Dalam komunikasi interpersonal misalnya, manusia bisa belajar dari orang lain, bisa dimintai nasihat, bisa dikritik, bisa menjadi penyalur kekesalan atau kehimpitan hidup. Apa yang bisa dilakukan pada manusia ini bisa dilakukan oleh media massa. Dalam media cetak misalnya, kita bisa meminta nasihat masalah-masalah psikologi pada rubrik konsultasi psikologi di media massa itu, kita bisa mencari jodoh juga bisa lewat media, misalnya dalam rubrik kontak jodoh. Kita bisa tertawa, sedih, iba terhadap apa yang disajikan media. Intinya, layaknya manusia media bisa melakukan apa saja yang dikehendaki individu bahkan bisa jadi lebih dari itu.
Misalnya, kita berbicara (meminta pengolahan data) dengan komputer kita seolah komputer itu manusia. Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi. Bahkan kita berperilaku secara tidak sadar seolah-olah media itu manusia. Dalam komunikasi interpersonal misalnya, manusia bisa belajar dari orang lain, bisa dimintai nasihat, bisa dikritik, bisa menjadi penyalur kekesalan atau kehimpitan hidup. Apa yang bisa dilakukan pada manusia ini bisa dilakukan oleh media massa. Dalam media cetak misalnya, kita bisa meminta nasihat masalah-masalah psikologi pada rubrik konsultasi psikologi di media massa itu, kita bisa mencari jodoh juga bisa lewat media, misalnya dalam rubrik kontak jodoh. Kita bisa tertawa, sedih, iba terhadap apa yang disajikan media. Intinya, layaknya manusia media bisa melakukan apa saja yang dikehendaki individu bahkan bisa jadi lebih dari itu.
Contoh lain adalah ketika kita
melihat televisi. Jika televisi yang kita lihat itu ukurannya kecil dan
suaranya kecil, ada kemungkinan kita menontonnya lebih dekat jika dibanding
dengan televisi yang besar. Kita bisa meniru berbagai adegan dalam televisi sama
persis seperti yang disajikannya. Perilaku semacam itu, sama seperti yang
dilakukan pada individu yang lain. Ketika yang kita ajak bicara suaranya kecil,
kita cenderung mendekat.
Dalam hal ini televisi dan
komputer diberlakukan sebagai aktor sosial. Artinya, aturan yang mempengaruhi
perilaku setiap hari individu-individu dalam interaksi dengan orang lain
relatif sama seperti ketika orang-orang berinteraksi dengan komputer atau
televisi. Kalau orang berinteraksi dengan memakai aturan tertentu, televisi dan
komputer juga punya aturan tertentu juga seperti dalam situasi lingkungan
sosial.
Dalam proses interaksi sosial
dikatakan bahwa orang-orang cenderung dekat dan menyukai satu sama lain karena
terjadinya kesamaan satu sama lain, misalnya kesamaan kebutuhan, kepercayaan,
status sosial, senasib dan lain-lain. Para penonton televisi pun punya
kecenderungan melihat acara-acara televisi yang bisa memenuhi kebutuhannya atau
bahkan mereka menonton televisi dengan alasan kurang kuat karena ada persamaan
kepercayaan. Sekedar contoh misalnya, penonton dari kalangan Islam tentunya
akan enggan menonton acara masak-memasak di televisi dengan bahan utamanya
daging babi. Alasannya, daging babi dianggap haram (tidak boleh dimakan) oleh
umat ini. Hal demikian akan berbeda dengan penganut agama lain yang tidak
mengharamkan daging babi. Itu artinya, orang-orang menggunakan televisi atau
komputer tidak sekedar peralatan saja, tetapi aktor sosial.
Sumber :
Rohim H. Syaiful, Teori
Komunikasi, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
Nurudin, Pengantar
Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.